Pada tanggal 19 Desember 1948, pasukan Belanda berhasil menduduki kota Yogyakarta (ibu kota RI). Soekarno, Hatta, Agus Salim (Menlu RI), dan Syahrir ditangkap oleh Belanda. Kemudian, Belanda membujuk Sultan Hamengkubuwono IX untuk menjadi pemimpin sebuah negara Jawa yang baru. Sebagai jawabannya, Sultan meletakkan jabatannya sebagai Kepala Daerah Yogyakarta pada bulan Januari 1949 dan istananya menjadi saluran utama komunikasi antara kota dengan para pejuang RI yang berada di luar kota.
Sementara itu, Panglima Besar Angkatan Perang RI, Jenderal Sudirman, mundur ke luar dari Yogyakarta dan memimpin perang gerilya terhadap pasukan Belanda. Selama 7 bulan, Sudirman menjadi pegangan bagi rakyat dalam mempertahankan negara Republik Indonesia. Akan tetapi, karena sakitnya yang semakin parah, Sudirman tidak dapat memimpin pasukannya bertempur secara langsung.
Komando daerah Yogyakarta dan sekitarnya yang secara keseluruhan dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto. Sebagai komandan Brigade 10 daerah Wehrkreise III, Soeharto mengatur konsentrasi pasukan, yakni meliputi pasukan sektor barat yang dipimpin oleh Mayor Vence Samuel, pasukan sektor selatan dan timur dipimpin oleh Mayor Sarjono, serta sektor kota dipimpin oleh Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki.
Sebelum penyerangan terhadap Belanda di Yogyakarta dimulai, letnan Kolonel Soeharto, sebagai pemegang komando resimen, terlebih dahulu melakukan konsolidasi kekuatan-kekuatan TNI di sekitar Yogyakarta dan meminta persetujuan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Setelah semua persiapan dan konsolidasi kekuatan militer dirasa cukup, letnan Kolonel Soeharto memimpin penyerangan umum terhadap Belanda di Yogyakarta pada tanggal 1 maret 1949. Penyerangan umum itu berhasil dengan gemilang, yakni dengan menduduki kota Yogyakarta selama 6 jam.
Perjuangan bersenjata yang dilakukan oleh bangsa Indonesia dalam upaya mempertahankan kemerdekaan antara lain menggunakan strategi perang gerilya. Strategi perang gerilya dianggap lebih menguntungkan karena hal-hal berikut.
1. TNI lebih menguasai wilayah (medan pertempuran) termasuk yang terdapat di luar kota.
2. Gerakan yang dilakukan oleh pasukan Belanda dapat diketahui dengan mudah.
3. TNI dapat melakukan serangan secara mendadak dan kemudian cepat bersembunyi atau menyamar sebagai rakyat biasa.
4. Konsolidasi pasukan dapat secara cepat dilakukan karena bersifat dinamis atau mudah berpindah tempat (mobilisasi).
Sementara itu, Panglima Besar Angkatan Perang RI, Jenderal Sudirman, mundur ke luar dari Yogyakarta dan memimpin perang gerilya terhadap pasukan Belanda. Selama 7 bulan, Sudirman menjadi pegangan bagi rakyat dalam mempertahankan negara Republik Indonesia. Akan tetapi, karena sakitnya yang semakin parah, Sudirman tidak dapat memimpin pasukannya bertempur secara langsung.
Komando daerah Yogyakarta dan sekitarnya yang secara keseluruhan dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto. Sebagai komandan Brigade 10 daerah Wehrkreise III, Soeharto mengatur konsentrasi pasukan, yakni meliputi pasukan sektor barat yang dipimpin oleh Mayor Vence Samuel, pasukan sektor selatan dan timur dipimpin oleh Mayor Sarjono, serta sektor kota dipimpin oleh Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki.
Sebelum penyerangan terhadap Belanda di Yogyakarta dimulai, letnan Kolonel Soeharto, sebagai pemegang komando resimen, terlebih dahulu melakukan konsolidasi kekuatan-kekuatan TNI di sekitar Yogyakarta dan meminta persetujuan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Setelah semua persiapan dan konsolidasi kekuatan militer dirasa cukup, letnan Kolonel Soeharto memimpin penyerangan umum terhadap Belanda di Yogyakarta pada tanggal 1 maret 1949. Penyerangan umum itu berhasil dengan gemilang, yakni dengan menduduki kota Yogyakarta selama 6 jam.
Perjuangan bersenjata yang dilakukan oleh bangsa Indonesia dalam upaya mempertahankan kemerdekaan antara lain menggunakan strategi perang gerilya. Strategi perang gerilya dianggap lebih menguntungkan karena hal-hal berikut.
1. TNI lebih menguasai wilayah (medan pertempuran) termasuk yang terdapat di luar kota.
2. Gerakan yang dilakukan oleh pasukan Belanda dapat diketahui dengan mudah.
3. TNI dapat melakukan serangan secara mendadak dan kemudian cepat bersembunyi atau menyamar sebagai rakyat biasa.
4. Konsolidasi pasukan dapat secara cepat dilakukan karena bersifat dinamis atau mudah berpindah tempat (mobilisasi).
Monumen Serangan Umum 1 Maret 1949
Tidak ada komentar:
Posting Komentar