Dalam beberapa tradisi perguruan Hindu, misalnya
Gaudiya Waisnawa, ia dianggap sebagai manifestasi dari kebenaran mutlak, atau perwujudan Tuhan itu sendiri,
dan dalam tafsiran kitab-kitab yang mengatasnamakan
Wisnu atau Kresna, misalnya
Bhagawatapurana, ia dimuliakan sebagai Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa. Dalam
Bhagawatapurana, ia digambarkan sebagai sosok
penggembala muda yang mahir bermain
seruling, sedangkan dalam
wiracarita Mahabharata
ia dikenal sebagai sosok pemimpin yang bijaksana, sakti, dan berwibawa.
Selain itu ia dikenal pula sebagai tokoh yang memberikan ajaran
filosofis, dan umat Hindu meyakini
Bhagawadgita sebagai kitab yang memuat
kotbah Kresna kepada
Arjuna tentang ilmu rohani.
Kisah-kisah mengenai Kresna muncul secara luas di berbagai ruang
lingkup agama Hindu, baik dalam tradisi filosofis maupun teologis.
Berbagai tradisi menggambarkannya dalam berbagai sudut pandang: sebagai
dewa kanak-kanak, tukang kelakar, pahlawan sakti, dan Yang Mahakuasa. Kehidupan Kresna dibahas dalam beberapa
susastra Hindu, yaitu
Mahabharata,
Hariwangsa,
Bhagawatapurana, dan
Wisnupurana.
Kehidupan
Riwayat Kresna dapat disimak dalam kitab
Mahabharata,
Hariwangsa,
Bhagawatapurana,
Brahmawaiwartapurana, dan
Wisnupurana. Latar belakang kehidupan Kresna pada masa kanak-kanak dan remaja adalah
India Utara, yang mana sekarang merupakan wilayah negara bagian
Uttar Pradesh,
Bihar,
Haryana, sementara lokasi kehidupannya sebagai pangeran di
Dwaraka sekarang dikenal sebagai negara bagian
Gujarat.
Kelahiran
Menurut kepercayaan tradisional yang berdasarkan data-data dalam sastra dan
perhitungan astronomi Hindu, hari kelahiran Kresna yang dikenal sebagai
Janmashtami, jatuh pada tanggal 19 Juli tahun 3228 SM.
Menurut
Itihasa (wiracarita Hindu) dan
Purana (mitologi Hindu), Kresna merupakan anggota keluarga bangsawan di
Mathura, ibukota
kerajaan Surasena di
India Utara (kini kawasan
Uttar Pradesh). Ia terlahir sebagai putra kedelapan
Basudewa (putra Raja
Surasena) dan
Dewaki (keponakan Raja
Ugrasena). Orang tuanya termasuk kaum
Yadawa atau keturunan
Yadu, putra raja legendaris
Yayati. Raja
Kangsa, kakak sepupu Dewaki, mewarisi tahta setelah menjebloskan ayahnya sendiri ke penjara, yaitu
Ugrasena.
Pada suatu ketika, ia mendengar ramalan yang menyatakan bahwa ia akan
mati di tangan salah satu putra Dewaki. Karena mencemaskan nasibnya, ia
mencoba membunuh Dewaki, namun Basudewa mencegahnya. Basudewa menyatakan
bahwa mereka bersedia dikurung dan berjanji akan menyerahkan setiap
putra mereka yang baru lahir untuk dibunuh. Setelah enam putra
pertamanya terbunuh, dan Dewaki kehilangan putra ketujuhnya, maka
lahirlah Kresna. Karena hidup Kresna terancam bahaya, maka ia
diselundupkan keluar penjara oleh Basudewa dan dititipkan pada
Nanda dan
Yasoda, sahabat Basudewa di
Vrindavan. Dua saudaranya yang lain juga selamat yaitu,
Baladewa alias
Balarama (putra ketujuh Dewaki, dipindahkan secara ajaib ke janin
Rohini, istri pertama Basudewa) dan
Subadra (putra dari Basudewa dan Rohini yang lahir setelah Baladewa dan Kresna).
Menurut kitab
Bhagawatapurana, Kresna lahir tanpa
hubungan seksual, melainkan melalui "transmisi mental" dari pikiran Basudewa ke rahim
Dewaki.
Umat Hindu meyakini bahwa pada masa itu, jenis ikatan tersebut dapat
dilakukan oleh makhluk-makhluk yang mencapainya. Tempat yang dipercaya
oleh para pemujanya untuk memperingati hari kelahiran Kresna kini
dikenal sebagai
Krishnajanmabhumi, dimana sebuah kuil didirikan untuk memberi penghormatan kepadanya.
Masa kanak-kanak dan remaja
Lukisan Kresna mengangkat
bukit Gowardhana, karya Shahadin dari India, dibuat sekitar akhir abad ke-17.
Kresna dibesarkan oleh
Nanda dan
Yasoda, anggota komunitas
penggembala sapi yang ada di
Vrindavana. Kisah masa kanak-kanak dan remaja Kresna menceritakan bagaimana ia menjadi seorang penggembala sapi, tingkah nakalnya sebagai
makhan chor (pencuri
mentega), kegagalan
Kangsa
dalam membunuhnya, dan perannya sebagai pelindung rakyat Vrindavana.
Pada masa kecilnya, Kresna telah melakukan berbagai hal yang
menakjubkan. Ia membunuh berbagai
raksasa—di antaranya
Putana (raksasa wanita),
Kesi (raksasa kuda),
Agasura (raksasa ular)—yang diutus oleh Kangsa untuk membunuh Kresna. Ia juga menjinakkan naga
Kaliya, yang telah meracuni air sungai
Yamuna dan menewaskan banyak penggembala. Dalam kesenian Hindu, seringkali Kresna digambarkan sedang menari di atas kepala naga
Kaliya yang bertudung banyak. Jejak kaki Kresna memberi perlindungan kepada Kaliya sehingga
Garuda—musuh para naga—tidak akan berani menganggunya.
Kresna dipercaya mampu mengangkat
bukit Gowardhana untuk melindungi penduduk Vrindavana dari tindakan
Indra, pemimpin para
dewa
yang semena-mena dan mencegah kerusakan lahan hijau Gowardhana. Indra
dianggap sudah terlalu besar hati dan marah ketika Kresna menyarankan
rakyat Vrindavana untuk merawat hewan dan lingkungan yang telah
menyediakan semua kebutuhan mereka, daripada menyembah Indra setiap
tahun dengan menghabiskan sumber daya mereka. Gerakan spiritual yang
dimulai oleh Kresna memiliki sesuatu di dalamnya yang melawan bentuk
ortodoks penyembahan
dewa-dewa Weda seperti
Indra.
Kisah permainannya dengan para
gopi (wanita pemerah susu) di Vrindavana, khususnya
Radha (putri Wresabanu, salah seorang penduduk asli Vrindavana) dikenal sebagai
Rasa lila dan diromantisir dalam puisi karya
Jayadeva, penulis
Gita Govinda. Hal ini menjadi bagian penting dalam perkembangan tradisi
bhakti Kresna yang memuja
Radha Krishna.
Sang Pangeran
Kresna beserta
Baladewa yang masih muda diundang ke
Mathura untuk mengikuti pertandingan
gulat
yang diselenggarakan Kangsa. Tujuan sebenarnya adalah membunuh Kresna
dengan dalih pertandingan gulat. Setelah mengalahkan para pegulat
Kangsa, Kresna menggulingkan kekuasaan Kangsa sekaligus membunuhnya.
Kresna menyerahkan tahta kepada ayah Kangsa,
Ugrasena, sebagai raja para
Yadawa. Ia juga membebaskan ayah dan ibunya yang dikurung oleh Kangsa. Kemudian ia sendiri menjadi pangeran di kerajaan tersebut.
Kunti—bibi Kresna—menikah dengan
Pandu dari
kerajaan Kuru dan memiliki tiga putra. Beserta dua putra dari
Madri—istri kedua Pandu—kelima putra Pandu disebut
Pandawa. Maka dari itu Kresna memiliki hubungan keluarga dengan para Pandawa, dan memiliki hubungan yang istimewa dengan
Arjuna, salah satu Pandawa.
Sebelum berdirinya
kerajaan Dwaraka, kota
Mathura—kediaman keluarga Kresna (
Yadawa)—diserbu oleh
Jarasanda, Raja
Magadha
karena dendam pribadi. Penyerbuan tersebut berhasil diredam
berkali-kali, namun Jarasanda tidak menyerah. Kemudian Jarasanda dibantu
oleh
Kalayawana, yang memiliki dendam pribadi terhadap klan Yadawa. Persekutuan tersebut memaksa Kresna mengungsikan para
Yadawa ke suatu wilayah di India Barat yang menghadap
Laut Arab (pada masa sekarang disebut
Gujarat) dan mendirikan sebuah kerajaan di sana, bernama
kerajaan Dwaraka (secara
harfiah berarti "kota banyak gerbang").
[48] Setelah Dwaraka didirikan, Kresna mengalahkan
Kalayawana dengan suatu jebakan.
Kresna menikahi
Rukmini, putri dari
kerajaan Widarbha, dengan cara kawin lari. Di tempat lain,
Sisupala,
sepupu Kresna yang berencana melamar Rukmini menjadi kecewa setelah
mengetahui berita tersebut sehingga ia membenci Kresna. Dari
pernikahannya dengan Rukmini, Kresna memiliki putra bernama
Pradyumna.
Permata Syamantaka
Pada suatu ketika,
Satrajit, kerabat jauh Kresna menerima permata
Syamantaka dari
Dewa Surya. Kresna menyarankan agar permata itu diserahkan kepada
Ugrasena—raja kaum
Yadawa—namun Satrajit menolaknya.
Prasena,
saudara Satrajit membawa permata itu saat berburu dan tidak pernah
kembali lagi. Satrajit menuduh Kresna telah membunuh Prasena karena
menginginkan permata itu. Untuk membersihkan nama baiknya, Kresna
melacak jejak Prasena. Akhirnya ia mendapati bahwa Prasena telah dibunuh
seekor hewan buas, dan permata Syamantaka tidak ditemukan pada
jenazahnya. Ia mengikuti jejak hewan yang membunuh Prasena, hingga
mendapati bangkai seekor singa. Ia tidak menemukan permata Syamantaka
ada pada bangkai tersebut. Akhirnya ia mengikuti jejak pembunuh singa
tersebut, dan sampai di kediaman seekor beruang bernama
Jembawan. Di tempat tersebut ia mendapati bahwa permata Syamantaka tersimpan di sana.
Kresna meminta Jembawan menyerahkan permata Syamantaka, namun
permintaannya ditolak sehingga mereka berkelahi. Setelah Jembawan
menyadari siapa sesungguhnya Kresna, ia menyerah dan menjelaskan bahwa
ia mendapatkan permata itu dari seekor singa. Ia pun menyerahkan permata
Syamantaka beserta putrinya yang bernama
Jambawati
untuk dinikahi Kresna. Setelah Kresna kembali dari penyelidikannya, dan
menyerahkan Syamantaka kepada Satrajit, maka Satrajit merasa malu
karena sudah berprasangka buruk terhadap Kresna. Untuk memperbaiki
hubungan di antara mereka, ia menikahkan putrinya yang bernama
Satyabama kepada Kresna.
Para istri Kresna
Dalam kitab
Bhagawatapurana diceritakan bahwa
Narakasura dari
kerajaan Pragjyotisha mengalahkan
Indra,
pemimpin para dewa. Indra mengadukan hal tersebut kepada Kresna
sehingga Kresna menyerbu Pragjyotisha dengan angkatan perangnya. Kresna
berhasil mengalahkan Narakasura dan membebaskan 16.100 putri yang
ditawan oleh Narakasura. Menurut kitab
Bhagawatapurana, Kresna menikahi 16.108 putri,
dan delapan di antaranya adalah yang terkemuka dan disebut dengan istilah
Ashta Bharya — yaitu
Rukmini,
Satyabama,
Jambawati, Kalindi, Mitrawrinda, Nagnajiti, Badra dan Laksana. Kresna menikahi 16.100 putri lainnya, yang merupakan tawanan
raksasa Narakasura,
untuk mengembalikan kehormatan mereka. Kresna berjasa karena membunuh
raksasa tersebut dan membebaskan mereka. Menurut adat sosial yang ketat
pada masa itu, seluruh wanita tawanan memiliki martabat rendah, dan
tidak memungkinkan untuk menikah, karena mereka di bawah kendali
Narakasura. Akan tetapi Kresna menikahi mereka untuk mengembalikan
status mereka di masyarakat. Pernikahan dengan 16.100 putri tawanan
tersebut kurang lebih merupakan rehabilitasi wanita massal. Dalam tradisi
Waisnawa, dipercaya bahwa para istri Kresna merupakan manifestasi Dewi
Laksmi—pasangan Dewa
Wisnu—atau merupakan
jiwa istimewa yang melewati kualifikasi setelah menghabiskan banyak masa hidup dalam
tapasya, sedangkan Satyabama, merupakan ekspansi dari
Radha.
Upacara Rajasuya
Kresna memenggal
Sisupala dengan cakranya saat upacara
Rajasuya diselenggarakan oleh
Yudistira. Lukisan karya Jnananjana Dasa.
Dalam kitab
Mahabharata,
Yudistira, sepupu Kresna dari
kerajaan Kuru ingin mengadakan upacara
Rajasuya. Atas saran Kresna, ia mengerahkan saudara-saudaranya (para
Pandawa) untuk menaklukkan para raja di
Bharatawarsha (
India). Di antara para raja, yang sulit ditaklukkan adalah
Jarasanda, raja
Magadha.
Bima—salah satu Pandawa—menantangnya untuk bertarung dengan
gada.
Mereka bertarung selama 27 hari. Setiap kali matahari terbenam, mereka
beristirahat untuk melanjutkan pertarungan di hari berikutnya. Jarasanda
sulit dibunuh. Pada hari ke-28, atas petunjuk Kresna, Bima membelah
tubuh Jarasanda menjadi dua bagian (kanan-kiri), dan melemparkannya ke
arah berlawanan. Dengan demikian, Jarasanda dapat dibunuh.
Setelah Jarasanda dikalahkan, upacara
Rajasuya diselenggarakan oleh
Yudistira
dan para raja yang ditaklukkannya diundang untuk menghadirinya. Untuk
menghormati para undangannya, Yudistira memutuskan untuk memberi hadiah
kepada orang-orang yang paling utama di antara mereka. Ia meminta saran
Bisma,
kakeknya untuk menentukan siapa yang berhak diberikan hadiah terlebih
dahulu. Bisma menyarankan agar hadiah diberikan kepada Kresna, dan
Yudistira pun menyetujuinya. Akan tetapi, keputusan tersebut ditolak
oleh
Sisupala.
Sisupala menghina Kresna secara bertubi-tubi, namun Kresna tetap
bersabar. Sesuai janji Kresna kepada ibu Sisupala, ia tidak akan
membunuh Sisupala kecuali bila makian yang diterimanya dari Sisupala
sudah lebih dari seratus kali. Setelah Sisupala menghina Kresna lebih
dari seratus kali, Kresna mengeluarkan senjata cakranya kemudian
memenggal kepala Sisupala. Menurut legenda, Sisupala—beserta
Dantawaktra, rekannya—adalah reinkarnasi
Jaya dan Wijaya, penjaga pintu gerbang
Waikuntha, kediaman
Wisnu. Karena melarang
Catursana
memasuki Waikuntha, mereka dihukum untuk turun ke bumi, dan atas
keinginan mereka sendiri, mereka dilahirkan sebagai musuh Wisnu dan
dibunuh oleh Wisnu sendiri. Tindakan Kresna (sebagai
awatara Wisnu) membunuh Sisupala telah membebaskan jiwa Sisupala dari
reinkarnasi yang harus dialaminya sehingga jiwanya kembali menuju Waikuntha.
Baratayuda dan Bhagawadgita
Lukisan Kresna sebagai juru damai, karya
Raja Ravi Varma. Dalam lukisan, Kresna mencegah
Satyaki, rekannya yang hendak menghadapi para
Korawa yang tidak menyetujui usulan damai yang diberikan Kresna.
Perselisihan antara para
Pandawa dan
Korawa—sepupu mereka—dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan para Pandawa atas sikap para Korawa yang menghalalkan segala cara agar tahta
kerajaan Kuru tidak jatuh ke tangan
Yudistira—yang
tersulung di antara Pandawa—sebagai putra mahkota tertua. Kresna
bertindak sebagai juru damai, namun upaya perundingan gagal karena para
Korawa—yang dipimpin
Duryodana—tidak mau mengalah. Di samping itu, Duryodana senantiasa dihasut oleh pamannya,
Sangkuni.
Saat keputusan perang tidak terelakkan lagi, hampir seluruh raja di
Bharatawarsha (
India)
diminta untuk berpartisipasi, dan akhirnya semuanya menjadi dua pihak,
yaitu pihak Pandawa dan Korawa. Kresna menawarkan kesempatan kepada dua
pihak untuk memilih pasukannya atau dirinya sendiri, namun dengan
kondisi tidak membawa senjata apapun.
Arjuna
yang mewakili Pandawa memilih agar Kresna berada di pihaknya, sedangkan
Duryodana—pemimpin para Korawa—memilih pasukan Kresna. Saat tiba
waktunya untuk berperang, Kresna bertindak sebagai kusir kereta perang
Arjuna, karena sesuai dengan perjanjian bahwa ia tidak akan membawa
senjata apapun.
Saat meninjau angkatan perang dan mengamati pihak yang akan
berperang, Arjuna menjadi ragu setelah menyaksikan keluarga, sepupu,
kerabat, serta kawan-kawan yang dicintainya bersiap-siap untuk membunuh
satu sama lain. Kemudian Kresna menasihati Arjuna tentang perang yang
akan dihadapinya. Percakapan tersebut meluas menjadi suatu wacana dan
menjadi kitab tersendiri, dikenal sebagai
Bhagawadgita 'Kidung Ilahi'. Dalam
Bhagawadgita, Kresna menguraikan ajaran
Iswara (ketuhanan),
jiwa,
dharma (kewajiban),
prakerti (alam semesta), dan
kala (waktu).
Kresna juga menjelaskan bahwa tujuannya berada di dunia adalah untuk
menyelamatkan orang saleh dan membinasakan orang jahat. Kutipan yang
terkenal adalah:
“ |
Kapanpun dan dimanapun
kebajikan merosot, dan kejahatan merajalela, pada saat itulah aku
menjelma, wahai keturunan Bharata (Arjuna). Untuk menyelamatkan orang
saleh dan menghukum orang jahat, serta menegakkan kebenaran, aku lahir
dari zaman ke zaman. (Bhagawadgita, 4:7–8) |
” |
Saat
Yudistira
merasa tertekan atas kekalahan yang diterima pihaknya di hari pertama,
Kresna tetap optimis bahwa kemenangan sudah pasti akan diraih Yudistira
karena ia bertindak di jalan yang benar dan telah mendapat restu dari
Bisma—kakeknya
sendiri, sekaligus kesatria tua yang harus dihadapinya dalam perang
itu—sesaat sebelum perang dimulai. Seperti halnya Kresna, Bisma juga
berkata bahwa kemenangan pasti akan diraih Yudistira dan ia mendoakan
cucunya itu agar mencapai kejayaan, meskipun mereka harus saling
menyerang dalam perang.
Seringkali Kresna meminta
Arjuna agar segera mengalahkan
Bisma, kakek para Pandawa dan Korawa. Keraguan Arjuna membuat Kresna marah sehingga ia mencopot roda keretanya sebagai pengganti
cakram
untuk membunuh Bisma. Akan tetapi tindakannya segera dicegah oleh
Arjuna yang berjanji bahwa ia akan mengalahkan kesatria tua tersebut di
hari berikutnya. Setelah para Pandawa mengetahui kelemahan Bisma, di
hari berikutnya, Kresna menginstruksikan
Srikandi, putra Raja
Drupada
agar menghadapi Bisma, dengan ditemani oleh Arjuna. Bisma, yang merasa
bahwa Srikandi telah dilahirkan untuk membunuhnya, sulit menghindari
serangan Arjuna yang bersembunyi di belakang Srikandi. Akhirnya Bisma
dikalahkan di hari kesepuluh.
Kesabaran Kresna habis sehingga ia ingin membunuh
Bisma dengan tangannya sendiri, namun dicegah oleh
Arjuna. Lukisan karya Pariksit Dasa.
Kresna juga membantu Arjuna dalam membunuh
Jayadrata, kesatria Korawa yang menahan para Pandawa dalam usaha menyelamatkan
Abimanyu—putra Arjuna—yang terkurung dalam formasi
Cakrabyuha dan terbunuh oleh serangan serentak yang dilancarkan delapan kesatria Korawa. Kresna juga meruntuhkan semangat
Drona—komandan tentara Korawa, pengganti Bisma—setelah ia memberi isyarat pada
Bima untuk membunuh seekor
gajah perang bernama Aswatama, nama yang serupa dengan nama
putra semata wayang Drona. Pandawa berteriak bahwa Aswatama mati, namun Drona enggan mempercayainya sebelum ia mendengar langsung dari
Yudistira
yang dikenal sebagai orang yang tidak pernah berbohong. Kresna tahu
bahwa Yudistira tidak akan berdusta, maka ia mengatur siasat agar
Yudistira tidak berbohong namun Drona menganggap putranya telah gugur.
Saat ditanya oleh Drona, Yudistira berkata, "Aswatama mati. Entah gajah,
entah manusia." Tetapi setelah Yudistira mengucapkan kalimat pertama,
tentara Pandawa yang telah diperintah oleh Kresna segera membuat
kegaduhan dengan membunyikan genderang perang dan
sangkakala,
sehingga Drona tidak mendengar kalimat kedua yang diucapkan Yudistira
dan percaya bahwa putranya telah gugur. Setelah dilanda dukacita, Drona
meletakkan senjatanya, dan kesempatan itu dimanfaatkan oleh
Drestadyumna untuk memenggal kepalanya.
Saat Arjuna bertarung melawan
Karna,
roda kereta Karna terperosok ke dalam genangan lumpur. Saat Karna
mencoba mengangkat keretanya dari lumpur, Kresna mengingatkan Arjuna
tentang tindakan Karna dan Korawa lainnya yang telah melanggar peraturan
dalam peperangan saat menyerang dan membunuh
Abimanyu
secara serentak, dan ia meyakinkan Arjuna untuk menempuh cara yang sama
untuk membunuh Karna. Maka Arjuna memenggal kepala Karna saat kesatria
itu sedang berusaha mengangkat keretanya dari lumpur.
Menjelang hari puncak peperangan,
Duryodana menemui
Gandari,
ibunya untuk meminta anugerah agar seluruh tubuhnya kebal dari segala
serangan. Untuk itu, ia harus datang dalam keadaan telanjang bulat.
Kresna mengolok-oloknya sehingga ia menjadi malu. Ia memutuskan untuk
menutupi selangkangannya dengan kulit pisang saat menemui ibunya.
Setelah Duryodana tiba, Gandari membuka penutup matanya dan mencurahkan
kekuatan dari matanya ke tubuh Duryodana, tetapi ia kecewa setelah
mengetahui bahwa Duryodana menutupi selangkangan dan paha sehingga
daerah itu tidak akan kebal. Ketika Duryodana bertarung dengan
Bima,
serangan Bima tidak berpengaruh bagi Duryodana. Untuk menyelesaikannya,
Kresna mengingatkan Bima akan janjinya untuk membunuh Duryodana dengan
cara memukul pahanya. Bima pun melakukannya, meskipun melanggar
peraturan (mengingat bahwa Duryodana sendiri telah melanggar
dharma
pada perbuatannya pada masa lalu). Dengan demikian, strategi Kresna
telah membantu Pandawa memenangkan perang dengan menjatuhkan seluruh
pemimpin tentara Korawa, tanpa perlu mengangkat senjatanya. Ia juga
menghidupkan kembali
Parikesit, cucu Arjuna yang diserang dengan senjata
Brahmastra oleh
Aswatama saat berada di dalam janin ibunya. Di kemudian hari, Parikesit menjadi penerus Pandawa.
Kehidupan di kemudian hari
Kehancuran Wangsa Yadawa, lukisan karya Pariksit Dasa.
Setelah perang usai,
Yudistira diangkat sebagai Raja
Kuru, dengan pusat pemerintahan di
Hastinapura. Ia memerintah selama 36 tahun. Sementara itu Kresna tinggal bersama kaumnya di
Dwaraka. Karena
Samba—putra Kresna—dan beberapa pemuda
Yadawa telah mengolok-olok para
resi yang mengunjungi Dwaraka, maka kaum Yadawa dikutuk agar hancur dengan menggunakan senjata
gada yang dikeluarkan dari perut Samba. Atas perintah
Ugrasena,
senjata tersebut dihancurkan hingga menjadi debu lalu dibuang ke laut.
Debu tersebut hanyut ke tepi pantai Prabasha dan tumbuh menjadi semacam
tanaman rumput, disebut
eruka.
Pada suatu perayaan, kaum Yadawa mengunjungi Prabasha dan berpesta
pora di sana. Karena pengaruh minuman keras, mereka mabuk dan saling
hantam. Perkelahian pun berubah menjadi pembunuhan masal. Saat
menyaksikan kaumnya saling bunuh, Kresna menggenggam rumput
eruka
dan melemparkannya ke tengah percekcokan tersebut yang mengakibatkan
ledakan hebat sehingga membunuh hampir seluruh kaum Yadawa yang ada di
sana. Setelah kehancuran kaumnya,
Baladewa meninggalkan tubuhnya dengan cara melakukan
Yoga. Sementara itu, Kresna memasuki hutan dan duduk di bawah pohon untuk bermeditasi.
Mahabharata
menyatakan bahwa seorang pemburu bernama Jara mengira sebagian kaki
kiri Kresna yang tampak sebagai seekor rusa sehingga ia menembakkan
panahnya, menyebabkan Kresna terluka secara fana, sampai berujung ke
kematiannya. Saat jiwa Kresna mencapai surga, tubuhnya di
kremasi oleh
Arjuna.
Menurut sumber-sumber dari
Purana, kepergian Kresna menandai akhir zaman
Dwaparayuga dan dimulainya
Kaliyuga, yang dihitung jatuh pada tanggal 17/18 Februari 3102 SM. Para guru aliran
Waisnawa, misalnya
Ramanuja dan aliran
Gaudiya Waishnawa
memandang bahwa tubuh Kresna seutuhnya merupakan tubuh spiritual
sehingga tidak akan pernah membusuk karena hal ini tampaknya merupakan
perspektif dalam
Bhagawatapurana. Kresna tidak pernah disebut menua atau menjadi uzur dalam penggambaran secara historis dalam berbagai
Purana, meskipun telah melewati beberapa
dasawarsa,
tetapi ada alasan untuk sebuah perdebatan apakah ini menunjukkan bahwa
ia tidak memiliki tubuh material, karena pertempuran dan deskripsi lain
dari wiracarita
Mahabharata
jelas menunjukkan indikasi bahwa ia tampaknya tunduk pada keterbatasan
alam. Sementara kisah pertempuran tampaknya menunjukkan keterbatasan,
Mahabharatha
juga menceritakan berbagai kisah saat Kresna tidak tunduk pada
keterbatasan, seperti cerita ketika Duryodana mencoba untuk menangkap
Kresna namun tubuhnya memancarkan api yang menunjukkan semua ciptaan ada
dalam dirinya.
Pemujaan
Aliran Waisnawa
Pemujaan terhadap Kresna merupakan suatu bagian dari aliran
Waisnawa (Waisnawisme), aliran
agama Hindu yang menganggap
Wisnu sebagai
Tuhan Yang Mahakuasa dan memuliakan berbagai
awatara (penjelmaan) yang terkait dengannya, termasuk pasangan (
sakti/
dewi) dewa itu sendiri, serta
orang suci maupun
guru
yang menyebarkan ajarannya. Secara istimewa Kresna dipandang sebagai
penjelmaan Wisnu seutuhnya, atau sebagai wujud Wisnu itu sendiri.
Bagaimanapun juga, hubungan yang pasti antara Kresna dan Wisnu terasa
kompleks dan bermacam-macam. Kadangkala Kresna dianggap sebagai dewa
tersendiri, yang memiliki kekuasaan penuh tanpa ketergantungan.
Di antara berbagai macam dewa, Kresna sangat penting, dan tradisi dalam
garis perguruan Waisnawa biasanya terpusat kepada Wisnu maupun Kresna,
sebagai dewa yang dipuja. Istilah Kresnaisme digunakan untuk meyebut
sekte pemuja Kresna, sementara istilah Waisnawisme untuk sekte yang terpusat kepada Wisnu dan Kresna dianggap sebagai
awatara, daripada Tuhan Yang Mahakuasa.
Seluruh tradisi Waisnawa menganggap Kresna merupakan awatara Wisnu;
kadangkala Kresna disamakan dengan Wisnu; sementara beberapa tradisi
lainnya, misalnya
Gaudiya Waisnawa,
Wallabha Sampradaya dan
Nimbarka Sampradaya, menganggap Kresna sebagai
Swayam Bhagawan, wujud asli Tuhan, atau Tuhan itu sendiri.
Swaminarayan, pendiri aliran
Swaminarayana Sampradaya juga memuja Kresna sebagai Tuhan. "Kresnaisme Raya" (
Greater Krishnaism) merupakan bentuk Waisnawa yang kedua atau dominan, berkisar antara penyembahan
Basudewa, Kresna, dan
Gopala pada
Zaman Weda Akhir. Di masa sekarang kepercayaan tersebut memiliki pengikut yang cukup banyak, termasuk di luar India.
Tradisi awal
Secara historis, Dewa
Kresna Basudewa (
kṛṣṇa vāsudeva "Kresna, putra
Basudewa") merupakan salah satu bentuk pemujaan tertua dalam aliran
Kresnaisme dan
Waisnawa. Dipercaya bahwa pemujaan tersebut merupakan tradisi penting pada sejarah awal pemujaan Kresna di zaman kuno.
Tradisi ini dianggap sebagai yang terawal di antara tradisi lainnya
yang kemudian bergabung pada tahap selanjutnya dalam perkembangan
sejarah. Tradisi lainnya meliputi
Bhagawatisme dan penyembahan
Gopala, yang bersama penyembahan
Balakresna (
Bala-Krishna)
membentuk dasar tradisi pemujaan yang terpusat pada Kresna pada masa
sekarang. Beberapa ahli kuno akan menyamakannya dengan Bhagawatisme, dan
dipercaya bahwa pendiri tradisi religius ini adalah Kresna, yang
merupakan putra Basudewa, sehingga namanya adalah Bāsudewa (
Vāsudeva),
termasuk ke dalam anggota suku Satvata, dan pegikutnya menyebut diri
mereka sendiri sebagai "Kaum Bhagawata" dan agama ini terbentuk pada
abad ke-2 SM (zaman
Resi Patanjali), atau sekurang-kurangnya pada abad ke-4 SM menurut bukti-bukti
Megasthenes dan dalam kitab
Arthasastra karya
Kautilya,
ketika Bāsudewa dipuja sebagai Tuhan Yang Mahakuasa dengan cara
monoteistik yang kuat, dimana Yang Mahakuasa adalah sempurna, kekal, dan
penuh karunia. Dalam berbagai sumber di luar pemujaan, pemuja atau
bhakta dianggap sebagai Basudewaka (
Vāsudevaka).Kitab
Hariwangsa menggambarkan hubungan yang rumit antara Kresna Basudewa,
Sangkarsana,
Pradyumna dan
Aniruda yang kemudian akan membentuk konsep
Waisnawa tentang empat manifestasi yang utama, atau
awatara.