Dahulu kala hiduplah seorang raja bernama Maha Pratapa. Permaisurinya bernama Chandra Dewi. Mereka mempunyai seorang putra yang tampan dan menawan bernama Dhammapala. Ia adalah seorang bodhisattva. Orang-orang sangat gembira dengan kelahiran pangeran nan tampan ini. Rajapun bahagia sekali, tetapi ia adalah seorang ayah yang sombong dan pecemburu. Kejahatannya sungguh keterlaluan.
Pada suatu hari permaisuri tengah menimang pangeran di pangkuannya. Kebetulan raja sedang lewat. Karena sedang memangku anaknya, biarpun melihat raja lewat, permaisuri tidak berdiri. Melihat sikap yang menurutnya tidak sopan itu, raja menjadi tersinggung. Dia berpikir bahwa ia telah dihina. Dengan gusar, ia kembali ke lantai atatas istananya dan memanggil algojo. Dengan mengenakan jubah merah dan kapak di tangan, segeralah algojo datang menghadap dan berdiri di hadapan raja menunggu perintah.
"Musuhku di dalam istana ini adalah si kecil Dhammapala. Seret dia ke sini pada kakinya,"perintah raja dengan murka. Kemudian algojo pergi ke permaisuri, meminta ampunannya, laku mencengkeram kaki pangeran dan menyeretnya di atas tanah. Dengan penuh kesedihan sang ibu datang, menangis dan memohon raja untuk menghukumnya dan bukannya anak yang tak bersalah ini.
Kemauan raja tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kemarahan dan kecemburuan telah menguasai dirinya. Ia menitahkan algojo untuk memotong tangan dan kaki si kecil Dhammapala. Dengan tanpa belas kasih, algojo pun memotong anggota badan si pangeran kecil. Ibu yang penuh dengan kasih sayang itu memeluk tubuh anaknya yang mengenaskan itu dan berkata,"Yang mulia, kasih seorang ibu kepada anaknya sangatlah dalam. Perkenankanlah aku memiliki tubuh anakku yang buntung ini."
Raja yang berhati batu itu tidak juga tergerak oleh kata-kata lembut seperti itu,"Bawa anak ini ke perempatan jalan dan penggal kepalanya, tusuk jantungnya dengan pedang, cincang dagingnya.dan buang ke empat arah," begitulah perintah keji sang ayah yang tak berhati itu.
Si kecil Dhammapala baru berumur tujuh bulan. Meskipun ia masih menyusu, tapi Dhammapala adalah anak yang sangat matang. Dia adalah calon buddha. Dia tidak menyimpan kebencian dalam hatinya yang lembut, dan justru sebaliknya memancarkan pikiran cinta kasihnya kepada semua makhluk. Ia berpikir:"Dhammapala, ini adalah kesempatan emas bagimu untuk mempraktikkan cinta kasihmu. Di depanmu adalah ayahmu yang telah memerintahkan untuk membunuhmu dengan keji. Di sampingmu adalah algojo yang akan membunuhmu. Di sisi lain adalah ibumu yang berduka dengan hatinya yang hancur. Di tengah adalah dirimu sendiri yang malang. Sudah pasti peserta didik mencintai ibumu, tetapi cintamu terhadap ayahmu harus lha lebih besar. ibumu tercinta menangis demi keselamatan mu, tapi ayahmu lah yang telah memberimu kesempatan emas untuk berlatih kesabaran dan cinta kasih. Pancarkan cinta kasihmu kepada mereka semua secara merata,"Semoga tidak kemalangan menima ayahku. Semoga ia tidak menderita apapun!Semoga ia terbebas dari segla penyakit! Semoga ia senantiasa sehat dan berbahagia! Semoga aku dengan kekuatan kebajikan ini, menjadi Buddha pada masa yang akan datang!"
Dhammapala yang berpikiran mulia akhirnya dibunuh. Akan tetapi cinta kasihnya yang tak terbatas tetap berjaya.